Home
Archived For
June 2013
Friday, June 14, 2013
Friday, June 7, 2013
Konsekuensi Inovasi
A.
Latar Belakang
Difusi inovasi merupakan langkah cerdas pemanfaatan
jaringan sosial di masyarakat untuk selanjutnya terjadi adopsi inovasi
sebagaimana yang dikehendaki oleh inovator. Inovasi dan perubahan merupakan dua
kata yang tak terpisahkan. Dalam setiap inovasi terjadi perubahan, namun tidak
semua perubahan disebut inovasi. Rogers (1983 : 11) menjelaskan, inovasi adalah suatu
gagasan, praktek, atau objek benda yang dipandang baru oleh seseorang atau
kelompok adopter lain.
Penerapan inovasi dan teknologi pada media belajar dan
mengajar menjangkau area yang lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan
proses pendidikan berupa proses belajar mengajar di sekolah, Penerapan yang
dilakukan adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah,
misalnya Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio
visual, alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta
pengadaan alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Suatu inovasi akan melahirkan
konsekuensi. Dalam dunia pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak
dilakukan karena tanpa inovasi akan terjadi kemandekan pada dunia pendidikan
yang kemudian berimbas pada pada elemen-elemen kehidupan yang lain seperti
politik, ekonomi, sosial dan lain-lain.
Sistem sosial terlibat secara langsung dalam proses
keputusan inovasi kolektif, otoritas dan kontingen dan mungkin tidak
secara langsung terlibat dalam keputusan inovasi. Pada makalah ini akan
membahas pengaruh sistem sosial dalam proses difusi, yaitu konsekuensi inovasi.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan dalam konsekuensi inovasi pendidikan sebagai
berikut:
a)
Pengertian konsekuensi inovasi
b)
Klasifikasi konsekuensi
c)
Konsekuensi inovasi dalam bidang pendidikan
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
a)
Untuk mengetahui pengertian konsekuensi inovasi.
b)
Untuk mengetahui penjelasan tentang klasifikasi konsekuensi.
c)
Untuk mengetahui konsekuensi inovasi dalam pendidikan.
PEMBAHASAN
Suatu
inovasi akan melahirkan konsekuensi.
Dalam dunia pendidikan Inovasi adalah hal yang mutlak dilakukan karena
tanpa inovasi akan terjadi kemandekan pada dunia pendidikan yang kemudian
berimbas pada pada elemen-elemen kehidupan yang lain seperti politik, ekonomi,
sosial dan lain-lain. Sistem sosial terlibat secara langsung dalam proses
keputusan inovasi kolektif, otoritas dan
kontingen dan mungkin tidak secara langsung terlibat dalam keputusan inovasi.
Konsekuensi
inovasi adalah suatu dampak yang mengikuti proses adopsi suatu inovasi
(Purwanto, 105:2000). Dalam mempekirakan konsekuensi atau akibat dari inovasi
adalah pekerjaan sulit. Ide-ide baru di masyarakat seringkali diterima berdasar
kepercayaan atau keyakinan bukannya berdasarkan alasan-alasan rasional atas
dasar pertimbangan tentang konsekuensinya. Akibatnya telah dapat diduga, bahwa
walaupun banyak inovasi dalam berbagai bidang telah diupayakan, tetapi hanya
sedikit terjadi perubahan. Banyak ide-ide baru yang dipromosikan dan diadopsi,
tetapi pembaharuan atau perbaikan di berbagai bidang tetap belum nampak
hasilnya. Banyak inovasi di masyarakat memilki tingkat keuntungan relatif yang
rendah. Meskipun inovasi demikian diadopsi oleh banyak orang, namun kemudian ditinggalkan.
Penyebarluasan
inovasi biasanya didasarkan asumsi bahwa konsekuensi atau akibat inovasi itu
akan positif. Para agen pembaharuan berasumsi bahwa inovasi itu merupakan
kebutuhan klien atau masyarakat, oleh karena itu penyebarluasan atau diseminasinya
dianggap sebagai hal yang wajar, dan ia menaruh harapan bahwa difusinya akan
berhasil.
A.
Klasifikasi
Konsekuensi Inovasi
Konsekuensi
adalah perubahan yang terjadi pada individu atau sistem sosial sebagai akibat
dari mengadopsi atau menolak suatu inovasi. Terdapat tiga klasifikasi dari
konsekuensi, masing-masing klasifikasi tersebut merupakan suatu kontinum yang
memiliki dua kutub berlawanan. Klasifikasi berbagai konsekuensi inovasi
tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
1.
Konsekuensi
diharapkan dan tidak diharapkan
Konsekuensi yang diharapkan adalah
suatu inovasi mempunyai pengaruh fungsional sesuai dengan keinginan individu
atau sistem sosial. Sedangkan konsekuensi yang tidak diharapkan adalah suatu
dampak yang timbul padahal hal tersebut tidak dikehendaki.
Konsekuensi fungsional adalah
akibat-akibat dari penyebaran suatu inovasi dalam suatu sistem sosial yang
sesuai dengan keinginan dari pengadopsi. Akibat-akibat itu memiliki konotasi
yang positif. Sebaliknya konsekuensi disfungsional adalah akibat-akibat dari
pengadopsian inovasi yang tidak diinginkan oleh pengadopsi.
2.
Konsekuensi
langsung dan tidak langsung
Konsekuensi langsung adalah suatu inovasi mempunyai pengaruh yang segera
terhadap individu atau suatu sistem sosial, sedangkan konsekuensi tidak
langsung adalah inovasi yang memberikan pengaruh yang tidak segera.Konsekuensi
langsung suatu inovasi menghasilkan perubahan-perubahan sistem
sosial yang terjadi sebagai respon segera penyebaran
suatu inovasi.
Konsekuensi tidak langsung adalah perubahan-perubahan dalam sistem sosial
yang terjadi sebagai hasil konsekuensi langsung suatu inovasi yang masih
memerlukan upaya tambahan dan prosesnya masih memerlukan waktu yang lebih lama.
Konsekuensi langsung sebuah inovasi merupakan perubahan pada individu atau
sistem sosial yang terjadi secara langsung dari sebuah inovasi. Sedangan
konsekuensi atau akibat tidak langsung merupakan perubahan pada individu atau
sistem sosial yang terjadi sebagai hasil dari konsekuensi langsung suatu inovasi.
3.
Konsekuensi
diantisipasi dan tidak diantisipasi
Konsekuensi yang diantisipasi adalah konsekuensi yang telah
diperkirakan sebelumnya, sedangkan konsekuensi yang tidak diantisipasi
adalah dampak ikutan yang muncul kemudian setelah adopsi atau menolak inovasi.
Konsekuensi yang tidak diantisipasi bisa bersifat positif, bisa pula bersifat
negatif. Konsekuensi ini juga disebut sebagai konsekuensi yang nampak dan yang
latent.
Konsekuensi yang nampak adalah perubahan-perubahan yang terlihat dan
dikehendaki oleh anggota sistem sosial yang mengadopsi suatu inovasi. Contoh
yang tanpak dari suatu pengadopsian suatu inovasi misalnya : adanya
pengembangan keterampilan kerja baru bagi orang yang
menerapkan penggunaan gergaji mesin untuk memotong kayu.
Sedangkan konsekuensi yang latent adalah perubahan-perubahan yang tidak tampak
dan tidak dikehendaki oleh anggota suatu sistem sosial. Semakin maju dan modern
suatu inovasi, akan semakin banyak pula menghasilkan konsekuensi baik
konsekuensi yang nampak maupun yang tidak tampak.
Konsekuensi yang terantisipasi merupakan perubahan yang berkenaan dengan
inovasi yang diketahui dan diingingkan atau dimaksud oleh para anggota sistem
sosial. Konsekuensi yang tidak terantisipasi merupakan perubahan dari sebuah
inovasi yang tidak diketahui dan diinginkan atau dimaksud oleh para anggota
sistem sosial.
B.
Mengantisipasi
berbagai Konsekuensi Inovasi
Suatu peubahan sosial terjadi
melalui proses mulai dari penemuan, penyebaran, dan akibat atau konsekuensi.
Meskipun masalah inovasi penting, tetapi ternyata penelitian tentang
akibat-akibat inovasi ini masih sedikit sekali, meneliti apalagi memperkirakan
konsekuensi atau akibat inovasi termasuk pekerjaan yang sulit. Meskipun sulit
bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan, hanya saja untuk melakukannya
diperlukan keterampilan, ketekunan, dan kerja keras.
Ide-ide baru di masyarakat
seringkali diterima berdasar kepercayaan atau keyakinan dan bukannya
berdasarkan atas alasan-alasan rasional atas dasar pertimbangan tentang
konsekuensinya. Akibatnya telah dapat diduga, bahwa walaupun banyak inovasi
dalam berbagai bidang telah diupayakan, tetapi hanya sedikit terjadi perubahan
kearah yang positif. Banyak ide-ide baru yang dipromosikan dan diadopsi, tetapi
pembaharuan atau perbaikan di berbagai bidang tetap belum nampak hasilnya, atau
justru merugikan. Kebanyakan inovasi itu hanya aneh-aneh dan mengada-ada, dan
setelah pengadopsiannya meluas, timbul kesulitan dalam mengukur pengaruhnya
terhadap peningkatan kualitas kehidupan di masyarakat. Banyak inovasi di
masyarakat memiliki tingkat keuntungan yang relatif rendah. Meskipun inovasi
demikian diadopsi oleh orang banyak, namun kemudian biasanya segera
ditinggalkan setelah masyarakat menyadari pengaruh negatifnya.
Pada umumnya penyebarluasan suatu
inovasi didasarkan pada asumsi bahwa konsekuensi atau akibat inovasi itu akan
positif. Para agen pembaharuan berasumsi bahwa inovasi itu merupakan kebutuhan
klien, karena itu penyebarluasan atau diseminasinya adalah dianggap sebagai hal
yang wajar atau bahkan keharusan. Agen pembaharuan mengharapkan pemasyarakatan
ide baru yang dilakukannya akan berhasil. Mereka umumnya berharap bahwa
konsekuensi inovai itu terjadi dalam jangka waktu yang sesegera mungkin, dan
dengan hasil nyata.
1.
Mengantisipasi
Konsekuensi yang Tidak Diharapkan/disfungsional
Apabila inovasi membawa konsekuensi
fungsional maka akibat-akibat dari penyebaran suatu inovasi dalam suatu sistem
sosial yang sesuai dengan keinginan dari pengadopsi. Akibat-akibat yang
dirasakan dari adopsi inovasi tersebut memiliki konotasi yang positif,
menguntungkan atau berguna. Sebaliknya konsekuensi disfungsional adalah
akibat-akibat dari pengadopsian inovasi yang tidak diinginkan oleh pengadopsi.
Konsekuensi disfungsional, perlu
diantisipasi sebelum terjadi. Apabila setelah beberapa waktu kemudian sesuatu
inovasi dapat dirasakan akibatnya yang negatif maka pihak inovator perlu segera
memperoleh masukan untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Biasanya
diperlukan suatu penelitian yang cermat utnuk memperoleh bahan masukan untuk
membuat keputusan terus atau tidaknya kegiatan difusi.
2.
Mengantisipasi
Konsekuensi yang Tidak Langsung
Konsekuensi langsung adalah
perubahan-perubahan dalam sistem sosial yang terjadi sebagai respon segera
setelah penyebaran suatu inovasi. Konsekuensi tak langsung adalah
perubahan-perubahan dalam sistem sosial yang terjadi sebagai hasil konsekuensi
tak langsung atau tidak segera terjadi setelah suatu inovasi diadopsi.
Suatu hal yang terpenting disadari
oleh inovator dan agen pembaharuan adalah bahwa sebelum semua dampak jangka
panjang dari suatu inovasi terjadi, semuanya telah dikaji, diteliti, dan
disiapkan solusi atau jalan keluarnya.
3.
Mengantisipasi
Konsekuensi yang Tidak Dapat Diantisipasi
Konsekuensi ada yang nampak nyata
dan ada pula yang tidak segera nampak. Konsekuensi yang nampak atau “manifest”
adalah perubahan-perubahan yang telihat dan dikehendaki oleh anggota sistem
sosial yang mengadopsi suatu inovasi.
Semakin penting, semakin maju, dan
semakin modern suatu inovasi, akan semakin banyak menghasilkan konsekuensi,
sebagian adalah konsekuensi yang tampak (nyata) dan sebagian lagi yang tidak
nampak. Di dalam suatu sistem sosial terjadinya suatu perubahan pada suatu
bidang akan mempengaruhi keseluruhan komponen sistem sosial tersebut. Suatu
inovasi yang canggih dalam suatu bidang tak lagi akan membawa dampak atau
konsekuensi yang akan mempengaruhi bidang-bidang yang lain dalam sistem sosial
tersebut.
C.
Bentuk, Fungsi dan Arti suatu Inovasi
Berbagai konsekuensi inovasi yang diharapkan, langsung,
dan diantisipasi pada umumnya terjadi secara bersamaan, dengan konsekuensi atau
akibat yang tidak harapkan, tidak langsung, dan tidak diantisipasi. Rogers
dalam Ibrahim (1988), mengemukakan bahwa kesalahan yang biasa dilakukan oleh
agen pembaharu ialah mereka hanya dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi dari
suatu inovasi, tetapi tidak dapat mengantisipasi arti inovasi bagi sasaran
penerima inovasi. Sebagai contoh, kisah mengenai kapak baja mengilustrasikan tiga
intrinsik elemen inovasi :
·
Bentuk dari inovasi, ialah wujud perubahan yang tampak (dapat diamati)
sebagai perwujudan dari substansi inovasi. Misalnya Missionaris dan juga
masyarakat Yir Yoront tahu betuk bentuk benda yang baru dikenalkan yaitu kapak
dari baja, mungkin karena kebetulan bentuknya hampir sama dengan kapak batu
yang telah dikenal
·
Fungsi dari inovasi, ialah sumbangan atau manfaat dari inovasi bagi
kehidupan. Atau kontribusi yang diciptakan oleh suatu inovasi pada cara hidup
para anggota sistem sosial. Misalnya suku Yir Yoront akan segera tahu bahwa
kapak baja gunanya sebagai alat pemotong, yang digunakan dalam pelaksanaan
tugas sehari – hari dalam kehidupannya sebagaimana guna dari kapak batu.
·
Arti atau makna dari inovasi, ialah persepsi inovasi yang subjektif dan
tidak disadari oleh penerima inovasi (anggota sistem sosial). Para agen
perubahan lebih mudah dapat mengantisipasi bentuk dan fungsi suatu inovasi
untuk para kliennya dari pada arti atau makna. Misalnya suatu penerimaan
kebudayaan akan timbul makna baru dan mungkin hanya memiliki sedikit kaitan
dengan elemen yang sama dengan kebudayaan aslinya.
D.
Mencapai (Equilibrium)Keseimbangan Dinamis
Terkait dengan keseimbangan suatu sistem sosial ketika
inovasi akan dan sudah diadopsi dapat diklasifikasikan tiga jenis ekuilibrium:
1)
Stable equilibrium(keseimbangan yang stabil) , yakni ketika hampir sama sekali tidak ada
perubahan dalam struktur atau fungsi suatu sistem sosial. Dalam hal ini,
keseimbangan struktural maupun fungsional ketika inovasi diadopsi hampir sama
dengan sebelum diadopsi. Ekuilibrium ini umpamanya ditemukan ketika inovasi
dilakukan dengan sangat lambat, dengan tingkat massiveness yang
rendah atau tidak terjadi sama sekali.
2)
Dynamic equilibrium(keseimbangan dinamis) , yakni ketika kecepatan atau kadar
difusi dan adopsi inovasi melahirkan perubahan yang seimbang secara struktural
dan fungsional atau seiring dengan kemampuan suatu sistem sosial untuk
beradaptasi. Ekuilibrium dinamis ini, oleh karena itu, merupakan hal yang
menjadi patokan bagi change agents dalam melakukan difusi
inovasi.
3)
Disequilibrium(ketidakseimbangan), bahwa inovasi menyebabkan perubahan yang terlalu cepat
sehingga sistem sosial tidak mampu menyesuaikan diri baik secara struktural
maupun fungsional (beradaptasi). Dalam hal ini, inovasi bisa melahirkan
disorganisasi sosial dan pada gilirannya lebih menyulitkan terjadinya perubahan
sosial.
Sebagai paradigma pembangunan yang dominan yang mulai
dipertanyakan pada awal 1970 an, dan berbagai macam alternatif paradigma
pembangunan tersebut diungkapkan, pentingnya keseimbangan sebagaimana
pentingnya konsekuensi dari berbagai aktivitas difusi mulai direalisasikan.
Pertama tujuan dari program difusi adalah menciptakan sesuatu yang baik dalam
sebuah sistem; namun yang kedua dimensi dari sebuah konsekuensi apakah distribusi
yang baik diantara para anggota sistem menjadi lebih seimbang atau kurang
seimbang. Berbagai konsekuensi pengadopsian inovasi biasanya cenderung
memperluas kesenjangan sosial ekonomi antara yang lebih awal mengadopsi dan
lamban mengadosi berbagai katagori dalam suatu sistem. Selanjutnya, berbagai
konsekuensi dari pengadopsian inovasi cenderung memperluas kesenjangan sosial
ekonomi antara orang yang sebelumnya berada dalam status sosial ekonomi yang
tinggi dan orang yang status sosial ekonominy rendah.
Struktur sistem sosial secara terpisah menentukan
seimbang versus tidak seimbang dari sebuah konsekuensi inovasi. Ketika sebuah
struktur sistem dalam keadaan yang begitu tidak seimbang, konsekuensi dari
suatu inovasi (terutama jika inovasi tersebut berkenaan dengan biaya yang
tinggi) akan membawa keadaan yang sangat tidak seimbang dalam bentuk
kensenjangan sosial ekonomi yang lebih luas.
Strategi apakah yang dapat dipakai untuk memperkecil
kesenjangan ? jawabannya tergantung pada tiga alasan utama mengapa kesenjangan
sosial ekonomi meluas sebagai konsekuensi dari inovasi : (1) “yang di atas”
memiliki akses informasi yang lebih banyak untuk menciptakan kesadaran mengenai
inovasi; (2) mereka memiliki akses informasi yang lebih banyak mengenai evalasi
inovasi dari teman sejawat; dan (3) “yang di atas” memiliki kurang lebih sumber
daya untuk mengadopsi inovasi dari pada yang “di bawah.”
Ketika upaya-upaya yang khusus diciptakan oleh seorang
agen difusi, hal tersebut mungkin untuk memperkecil, atau paling sedikit tidak
memperluas, kesenjangan sosial ekonomi dalam sistem sosial. Dengan kata lain,
berbagai kesenjangan yang melebar tidak terjadi.Satu peranan penting untuk
penelitian difusi dimasa mendatang adalah mengungkapkan berbagai strategi yang
lebih efektif untuk menciptakan keseimbangan diantara para anggota sistem
sosial. Hal ini baru, sulit dan peranan yang menjanjikan untuk orang-orang yang
mempelajari difusi.
E.
Kesetaraan dalam Konsekuensi Inovasi
Umumnya salah satu cara yang dilakukan oleh agen
perubahan dalam membentuk konsekuensi inovasi adalah dengan saling bekerjasama.
Jika agen perubahan menghubungi orang yang lebih miskin dan berpendidikan
rendah di masyarakat dari pada orang kaya, tentunya suatu inovasi akan lebih
berarti/bermakna. Namun terkadang, biasanya agen perubahan lebih banyak
menghubungi orang yang berpendidikan, memiliki status sosial yang tinggi di
masyarakat, dengan demikian hal tersebut cenderung untuk memperluas kesenjangan
sosial ekonomi melalui inovasi-inovasi yang mereka memperkenalkan.
Difusi dan inovasi secara umum menyebabkan
dalamnya tingkat kesenjangan sosial ekonomi di masyarakat.
Meningkatnya ketidaksetaraan dalam konsekuensi inovasi disebabkan karena :
1.
Inovator dan pengadopsi awal memiliki sikap yang menguntungkan terhadap
ide-ide baru dan mereka lebih cenderung mencari inovasi-inovasi secara aktif.
Mereka juga memiliki sumber daya yang tersedia untuk menerapkan inovasi biaya
yang lebih tinggi, sedangkan pengadopsi yang lain tidak.
2.
Agen-agen pembaharu professional cenderung memusatkan perhatian mereka pada
kontak-kontak klien mereka pada innovator dan adopter awal dengan harapan bahwa
pemimpin opini diantara katagori yang mengadopsi akan menyampaikan gagasan baru
yang telah mereka ketahui kepada para pengikut mereka dengan proses yang
merambat kebawah.
3.
Dengan mengadopsi inovasi
relatif lebih awal daripada orang lain dalam sistem sosial, inovator dan
pengadopsi awal memperoleh keuntungan, sehingga memperluas kesenjangan
sosial-ekonomi antar kelompok sebelum mengadopsi. Jadi pengadopsi awal menjadi
semakin kaya, bila dibandingkan dengan adaptor yang lainya.
F.
Konsekuensi Inovasi dalam Bidang Pendidikan
Penerapan inovasi dan teknologi pendidikan di
Indonesia sudah cukup berkembang. Dalam bentuk sistem pendidikan, inovasi dan
teknologi pada tataran ini menjangkau area kebijakan penyelenggaraan proses
pendidikan. Contoh dari pemanfaatan inovasi dan teknologi
pelaksanaan sistem Cara Belajar Pelajar Aktif (CBSA), Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK), atau penambahan jam belajar di sekolah dan sekarang yang akan memasuki kurikulum terbaru 2013. Pada tataran ini inovasi dan teknologi diterapkan
secara massal karena mengarah pada sistem.
Penerapan inovasi dan teknologi pada media belajar dan
mengajar menjangkau area yang lebih sempit, yaitu merujuk pada penyelenggaraan
proses pendidikan berupa proses belajar mengajar di sekolah. Penerapan yang
dilakukan adalah elaborasi hasil teknologi sebagai media belajar di sekolah,
misalnya Computer Assisted Instruction (CAI), alat-alat canggih berupa audio
visual, alat-alat permainan edukatif atau media cetak berupa buku-buku, serta
pengadaan alat-alat laboratorium yang berkualitas.
Salah satu contoh konsekuensi inovasi dalam pendidikan
adalah pemanfaatan sarana teknokogi informasi dalam bidang pendidikan. Ketika
segelintir sekolah sudah masuk arena persaingan global dengan memanfaatkan
inovasi teknologi, sebagian besar sekolah di Indonesia justru masih amat jauh
dari akses teknologi informasi. Prasarana komputer di kebanyakan sekolah masih
amat minim bahkan tidak ada. Guru-guru pun masih belum mempunyai kesempatan
atau keberanian untuk menggunakan teknologi komputer dan internet. Tentu saja
kesenjangan dalam aksebilitas antara siswa-siswa dari sekolah mampu dengan
siswa-siswa dari sekolah miskin akan mengarah kepada persaingan yang tidak
seimbang antara anak-anak bangsa. Sekali lagi, tarik ulur antara keunggulan dan
pemerataan merupakan isu serius dalam penyusunan kebijakan pendidikan dan
perencanaan anggaran pendidikan.
Implikasi lain dari inovasi teknologi adalah batasan
antara pendidikan formal, informal, dan nonformal secara nyata akan menjadi
kabur. Secara positif, ada amat banyak situs yang menawarkan program atau modul
pembelajaran yang bisa diakses anak dengan mudah. Ruang belajar anak tidak lagi
dibatasi empat dinding ruang kelas. Proses pembelajaran di dunia maya yang
kadang juga dimanfaatkan di segelintir sekolah tidak mengenal batasan formal
dan nonformal. Beberapa situs menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan
berbagai kompetensi anak.
Sebaliknya, ketika anak sudah bisa mengakses dunia
maya, segala yang ada di situ akan bisa diakses anak termasuk situs-situs yang
tidak sesuai dan bisa merusak anak. Padahal tidak banyak guru dan orang tua
yang menguasai teknologi informasi cukup baik atau tidak punya cukup waktu
untuk bisa mendampingi anak dan memberi pengarahan dalam penjelajahan ke dunia
maya. Akibatnya, anak-anak menjadi rentan terhadap berbagai dampak negatif dari
penyalahgunaan teknologi informasi.
Perubahan kurikulum atau metode pembelajaran yang
terintegrasi dengan Teknologi Informasi & Komunikasi dapat
menjadi alternatif menjembatani guru dan siswa untuk lebih ramah dan sehat
memanfaatkan teknologi.Namun pada kenyataannya, tidak selalu inovasi dapat
diterima. Beberapa kasus menunjukkan pelaksana inovasi cenderung resisten
terhadap inovasi.
Ada beberapa hal mengapa inovasi sering ditolak atau
tidak dapat diterima oleh para pelaksana inovasi di lapangan atau di sekolah
sebagai berikut:
1)
Sekolah atau guru tidak dilibatkan dalam proses perencanaan, penciptaan dan
bahkan pelaksanaan inovasi tersebut, sehingga ide baru atau inovasi tersebut
dianggap oleh guru atau sekolah bukan miliknya, dan merupakan kepunyaan orang
lain yang tidak perlu dilaksanakan, karena tidak sesuai dengan keinginan atau kondisi
sekolah mereka.
2)
Guru ingin mempertahankan sistem atau metode yang mereka lakukan saat
sekarang, karena sistem atau metode tersebut sudah mereka laksanakan
bertahun-tahun dan tidak ingin diubah. Disamping itu sistem yang mereka miliki
dianggap oleh mereka memberikan rasa aman atau kepuasan serta sudah baik sesuai
dengan pikiran mereka Hal senada diungkapkan pula Day dkk (1987) dimana guru
tetap mempertahankan sistem yang ada.
3)
Inovasi yang baru yang dibuat oleh orang lain terutama dari pusat
(khususnya Depdiknas) belum sepenuhnya melihat kebutuhan dan kondisi yang
dialami oleh guru dan siswa. Hal ini juga diungkapkan oleh Munro (1987:36) yang
mengatakan bahwa "mismatch between teacher's intention and practice is
important barrier to the success of the innovatory program".
4)
Inovasi yang diperkenalkan dan dilaksanakan yang berasal dari pusat
merupakan kecenderungan sebuah proyek dimana segala sesuatunya ditentukan oleh
pencipta inovasi dari pusat. Inovasi ini bisa terhenti kalau proyek itu selesai
atau kalau finasial dan keuangannya sudah tidak ada lagi. Dengan demikian pihak
sekolah atau guru hanya terpaksa melakukan perubahan sesuai dengan kehendak
para inovator di pusat dan tidak punya wewenang untuk merubahnya.
5)
Kekuatan dan kekuasaan pusat yang sangat besar sehingga dapat menekan
sekolah atau guru melaksanakan keinginan pusat, yang belum tentu sesuai dengan
kemauan mereka dan situasi sekolah mereka.
PENUTUP
Kesimpulan
Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada
individu atau suatu sistem sosial sebagai hasil pengadopsian atau penolakan
terhadap suatu inovasi. Konseksuensi dari pengadopsian sebuah inovasi yaitu
berupa invensi (pembaharuan) dan difusi (perubahan) yang menjadi tujuan yang
ingin dicapai. Ditinjau dari hasil inovasi yang diperoleh atau yang tampak
dalam sistem sosial, konsekuensi inovasi dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu:
Konsekuensi diharapkan dan tidak diharapkan, Konsekuensi langsung dan tidak
langsung dan Konsekuensi diantisipasi dan tidak diantisipasi.
Salah satu contoh konsekuensi inovasi dalam pendidikan
adalah pemanfaatan sarana teknokogi informasi dalam bidang pendidikan.
Implikasi lain dari inovasi teknologi adalah batasan antara pendidikan formal,
informal, dan nonformal secara nyata akan menjadi kabur. Secara positif, ada
amat banyak situs yang menawarkan program atau modul pembelajaran yang bisa
diakses anak dengan mudah. Ruang belajar anak tidak lagi dibatasi empat dinding
ruang kelas. Proses pembelajaran di dunia maya yang kadang
juga dimanfaatkan di segelintir sekolah tidak mengenal batasan formal dan
nonformal. Beberapa situs menyajikan program amat bermutu bagi pengembangan
berbagai kompetensi anak.
Sebaliknya, ketika anak sudah bisa mengakses dunia
maya, segala yang ada di situ akan bisa diakses anak termasuk situs-situs yang
tidak sesuai dan bisa merusak anak. Padahal tidak banyak guru dan orang tua
yang menguasai teknologi informasi cukup baik atau tidak punya cukup waktu
untuk bisa mendampingi anak dan memberi pengarahan dalam penjelajahan ke dunia
maya. Akibatnya, anak-anak menjadi rentan terhadap berbagai dampak negatif dari
penyalahgunaan teknologi informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim. (1988) . Inovasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjendikti
Purwanto, 2000. Difusi Inovasi. Jakarta
: STIA-LAN
Keinovatifan dan Kategori Adopter
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu
kebutuhan dalam kehidupan, dimana pendidikan dapat menjadi tombak masa depan
seseorang. Pendidikan dapat dimulai dari sejak dini hingga tak terbatas usia.
Pendidikan yang kita dapat dari kecil hingga sekarang pasti mengalami suatu
perubahan. Perubahan suatu pendidikan merupakan hal
yang lumrah terjadi. Tampaknya perubahan ini merupakan sesuatu yang harus
terjadi dan tidak mungkin dihindari oleh manusia. Demikian juga halnya dalam dunia pendidikan
perubahan-perubahan juga terus terjadi.
Di Indonesia terutama dalam dunia
pendidikan, perubahan yang sering terjadi adalah perubahan kurikulum. Kurikulum pendidikan di
Indonesia sudah semakin berkembang sehingga guru dituntut untuk lebih berkompetensi. Maka
pemerintah menerapkan untuk guru SD minimal bergelar S1. Dengan demikian
terjadinya perubahan kurikulum,
dimana guru harus
bisa menganalsis kurikulumnya dengan baik sehingga guru lebih inovatif dan kreatif
dalam menentukan / memilih metode pembelajaran yang digunakan, karena
sebenarnya peserta didik yang kategori normal tidak ada yang bodoh. Sehingga
diperlukan kompetensi guru yang dapat berinovasi untuk memilih dan menciptakan
metode pembelajaran yang lebih baik sehingga tercapainya tujuan pembelajaran
yang diharapkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam
keinovatifan dan kategori adopter sebagai berikut:
2. Bagaimana kategori adapter?
3.
Apa saja strategi difusi inovasi pendidikan terhadap
pengadop inovasi?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk memberikan gambaran tentang keinovatifan dan kategori adopter serta sebagai sarana untuk meningkatkan
keprofesionalan yang dimiliki khususnya untuk dunia pendidikan di Indonesia.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Keinovatifan
Menurut Rogers (1995), keinovatifan adalah
tingkat yang berkenaan dengan seberapa lama seseorang/kelompok/sistem sosial
lebih dahulu dalam mengadopsi ide-ide baru dari konsep-konsep difusi inovasi dibandingkan
dengan yang lain.
Keinovatifan menjadi perubah utama dalam
proses difusi inovasi yang disponsori oleh agen perubahan. Pada negara
berkembang keinovatifan dipandang sebagai salah satu indikator kesuksesan
program-program pembangunan. Keinovatifan menunjukan perubahan tingkah laku
yaitu tujuan akhir program difusi bukan hanya pikiran dan sikap.
Inovasi yaitu sebagai sasaran yang dapat
menjadi instrumen untuk melakukan perubahan sosial sedangkan keinovatifan
merupakan tingkat pengadopsian dari kelompok masyarakat dan juga menjadi ciri
pokok masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan. Proses perubahan
tergantung pada waktu, objek dan sasaran. Ada yang gampang menerima atau bahkan
sebaliknya yaitu sulit menerima atau menerima tetapi memerlukan waktu yang
sangat lama.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
namanya keinovatifan adalah sebuah proses seseorang dalam menerima gagasan,
objek yang menyangkut metode, strategi baru dan produk kategori lebih awal
apabila dibandingkan dengan yang lain dalam sistem sosialnya. Lambat atau cepatnya dalam menerima
inovasi melalui beberapa etape dan ini sangat tergantung pada individu
penerima, karakteristik inovasi dan karakteristik lainnya yang individu itu
berada di dalamnya.
B.
Pengertian
Adopter
Adopter adalah
orang yang memakai atau menerima suatu inovasi. Adopter dapat diklasifikasikan
berdasarkan kemampuan inovasi mereka (innovativeness)
dan berdasarkan kecepatan mereka mengadopsi suatu inovasi yang diperkenalkan.
Pembagian anggota sistem sosial ke dalam kelompok kelompok adopter (penerima
inovasi) berdasarkan tingkat keinovatifannya yakni lebih awal atau lebih
lambatnya seseorang mengadopsi dibandingkan dengan anggota sistem lainya. Rogers
dan sejumlah ilmuwan komunikasi lainnya mengidentifikasi 5 kategori pengguna
inovasi :
1.
Innovator
Adalah kelompok orang yang berani
dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Hubungan sosial mereka cenderung lebih cepat
dibanding kelompok sosial lainnya. Orang-orang seperti ini lebih dapat
membentuk komunikasi yang baik meskipun terdapat jarak geografis. Biasanya
orang-orang ini memiliki gaya hidup dinamis di perkotaan yang memiliki banyak
teman atau relasi.
2. Early Adopter
Kelompok ini lebih lokal
dibanding kelompok inovator. Kategori adopter seperti ini menghasilkan lebih
banyak opini dibanding kategori lainnya, serta selalu mencari informasi tentang
inovasi. Mereka dalam kategori ini sangat disegani dan dihormati oleh kelompoknya
karena kesuksesan mereka dan keinginannya untuk mencoba inovasi baru.
3. Early Majority
Kategori pengadopsi seperti ini
merupakan mereka yang tidak mau menjadi kelompok pertama yang mengadopsi sebuah
inovasi. Sebaliknya, mereka akan dengan berkompromi secara hati-hati sebelum
membuat keputusan dalam mengadopsi inovasi, bahkan bisa dalam kurun waktu yang
lama. Orang-orang seperti ini menjalankan fungsi penting dalam melegitimasi
sebuah inovasi, atau menunjukkan kepada seluruh komunitas bahwa sebuah inovasi
layak digunakan atau cukup bermanfaat.
4. Late Majority
Kelompok yang ini lebih
berhati-hati mengenai fungsi sebuah inovasi. Mereka menunggu hingga kebanyakan
orang telah mencoba dan mengadopsi inovasi sebelum mereka mengambil keputusan.
Terkadang, tekanan dari kelompoknya bisa memotivasi mereka. Dalam kasus lain,
kepentingan ekonomi mendorong mereka untuk mengadopsi inovasi.
5. Laggard
Kelompok ini merupakan orang yang terakhir melakukan adopsi inovasi. Mereka
bersifat lebih tradisional, dan segan untuk mencoba hal hal baru. Kelompok ini
biasanya lebih suka bergaul dengan orang-orang yang memiliki pemikiran sama
dengan mereka. Sekalinya sekelompok laggard
mengadopsi inovasi baru, kebanyakan orang justru sudah jauh mengadopsi inovasi
lainnya, dan menganggap mereka ketinggalan zaman.
Dengan pengetahuan
tentang kategorisasi adopter ini dapatlah kemudian disusun strategi difusi
inovasi yang mengacu pada kelima kategori adopter, sehingga dapat diperoleh
hasil yang optimal, sesuai dengan kondisi dan keadaan masing-masing kelompok
adopter. Hal ini penting untuk menghindari pemborosan sumber daya hanya karena
strategi difusi yang tidak tepat. Strategi untuk menghadapi adopter awal
misalnya, haruslah berbeda dengan strategi bagi mayoritas akhir,mengingat
gambaran ciri-ciri mereka masing-masing (Rogers, 1983). Rogers menggambarkan kategori adapter sebagai
berikut :
1.
Innovators : Sekitar 2,5%
individu yang pertama kali mengadopsi inovasi. Cirinya: petualang, berani
mengambil resiko, mobile, cerdas, kemampuan ekonomi tinggi.
2.
Early Adopters (Perintis/Pelopor) : 13,5% yang
menjadi para perintis dalam penerimaan inovasi. Cirinya: para teladan (pemuka
pendapat), orang yang dihormati, akses di dalam tinggi.
3.
Early Majority (Pengikut Dini) : 34% yang
menjadi pera pengikut awal. Cirinya: penuh pertimbangan, interaksi internal
tinggi.
4.
Late Majority (Pengikut Akhir) : 34% yang
menjadi pengikut akhir dalam penerimaan inovasi. Cirinya: skeptis, menerima
karena pertimbangan ekonomi atau tekanan social, terlalu hati-hati.
5.
Laggards (Kelompok Kolot/Tradisional) : 16% terakhir
adalah kaum kolot/tradisional. Cirinya : tradisional, terisolasi, wawasan terbatas, bukan opinion leaders,sumber
daya terbatas.
C. Strategi Difusi Inovasi
Pendidikan Terhadap Pengadop Inovasi
Strategi adalah suatu
cara atau tehnik untuk meyebarkan inovasi., Dalam proses penyebaran inovasi
tidak dapat dilakukan secara cepat, maka perlu suatu proses dan butuh waktu.
Oleh karena itu penyebaranyapun perlu menggunakan strategi-strategi yang tepat.
Dalam proses penginovasian
akan lebih mudah diterapkan jika menggunakan sebuah tehnik-tehnik tertentu
yaitu melalui strategi yang dahsyat. Dengan adanya strategi-strategi yang
dahsyat maka hambatan-hambatan inovasi akan lebih mudah diatasi.
Salah satu faktor yang
ikut menentukan efektivitas pelaksanaan program perubahan sosial adalah
ketepatan penggunaan strategi, maka strategi yang tepat sangat diperlukan. Oleh
karenanya kecermatan yang amat cermat dalam penggunaan strategi yang pas harus
dicari dan diujicobakan. Adapun strategi difusi inovasi pendidikan terhadap pengadop inovasi, sebagai berikut :
1.
Strategi
Fasilitatif
Pelaksanaan program
perubahan sosial dengan strategi fasilitatif maknanya adalah untuk mencapai
tujuan perubahan sosial yang telah ditentukan, diutamakannya yaitu penyediaan
fasilitas dengan maksud agar program sosial akan berjalan dengan mudah dan
lancar.
Strategi fasilitatif
dapat digunakan dengan tepat jika mengenal masalah yang dihadapi serta
menyadari perlunya mencari target perubahan, merasa perlu adanya perubahan, bersedia menerima
bantuan dari luar dirinya, dan memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam
usaha merubah atau memperbaiki dirinya.
2. Strategi Pendidikan
Dengan strategi
pendidikan, orang harus belajar lagi tentang sesuatu yang telah dipelajari tetapi
terlupakan, sebelum mempelajari tingkah laku atau sikap baru. Strategi
pendidikan dapat berlangsung efektif, dan perlu mempertimbangkan perihal
berikut yaitu antara lain:
-
Digunakan untuk menanamkan
prinsip-prinsip yang perlu dikuasai. Disertai dengan keterlibatan berbagai
pihak, misalnya dengan adanya, sumbangan dana, donator, serta penunjang yang
lain.
-
Digunakan untuk menjaga agar
klien tidak menolak perubahan atau kembali ke keadaan sebelumnya. Strategi
pendidikan akan kurang efektif jika tidak tersedia sumber yang cukup untuk
menunjang kegiatan pendidikan dan digunakan tanpa dilengkapi strategi yang
lain.
3.
Strategi Bujukan
Strategi bujukan tepat
digunakan bila klien tidak berpartisipasi dalam perubahan sosial. Berada pada
tahap evaluasi atau legitimasi dalam proses pengambil keputusan untuk menerima
atau menolak perubahan sosial. Strategi bujukan tepat jika masalah dianggap
kurang penting atau jika cara pemecahan masaalah kurang efektif serta pelaksana
program perubahan tidak memiliki alat control secara langsung terhadap klien.
4.
Strategi Paksaan
Strategi dengan cara
memaksa klien untuk mencapai tujuan perubahan. Apa yang dipaksa merupakan
bentuk dari hasil target yang diharapkan. Penggunaan strategi paksaan perlu
mempertimbangkan partisipasi klien terhadap proses perubahan rendah dan klien
tidak merasa perlu untuk berubah.
Tujuan diadakannya inovasi perlu dimengerti
dan diterima oleh guru, siswa, orang tua serta masyarakat. Harus dikemukakan
dengan jelas mengapa perlu ada inovasi. Motivasi positif harus digunakan untuk
memberikan rangsangan agar mau menerima inovasi.
Motivasi dengan ancaman, yaitu mengajak agar
orang mengikuti yang dilakukan oleh orang lain atau dengan menasehati agar
orang menghindari kegagalan, belum tentu dapat berhasil.
Planing tentang evaluasi keberhasilan
program inovasi. Kejelasan tujuan dan cara menilai keberhasilan penerapan
inovasi, merupakan motivasi yang kuat untuk menyempurnakan pelaksanaan inovasi.
D. Menggolongkan Kategori
Adopter atas dasar Inovatif
Sebutan/Judul kategori
adopter sama ketika seperti riset difusi tentang diri mereka. Ketidakmampuan
riset pada awal tentang riset difusi untuk bermufakat merupakan suatu landasan
di dalam menugaskan istilah menuju/mendorong jumlah yang banyak tentang uraian
adopter ini.
1.
Kurva
Kewajaran dan Adopsi
Adopsi dari suatu inovasi
pada umumnya mengikuti suatu garis normal, Kurva S-shaped membengkok
ketika direncanakan dari waktu ke waktu atas suatu basis frekuensi. Jika
kumulatif jumlah adopter direncanakan, hasil adalah suatu kurva shaped
yang membengkok.
2.
Metoda
Penggolongan Adopter
Pencarian
Seseorang untuk menstandardisasi kategori adopter harus memutuskan: (1) atas banyaknya kategori
adopter, ( 2) atas pembagian anggota suatu sistem kepada setiap
kategori dan ( 3) atas penggunaan metoda, bulatan statistik jika tidak
melukiskan kategori adopter.
Ukuran
untuk penggolongan adopter adalah secara inovatif dimana derajat tingkat bagi
yang mana perorangan atau unit lain tentang adopsi secara relatif lebih
awal mengadopsi gagasan baru dibanding anggota suatu sistem sosial yang lain.
Inovatif adalah suatu dimensi sanak keluarga, di dalam perorangan mempunyai
lebih atau lebih sedikit tentangnya dibanding orang lain di dalam suatu sistem.
Inovatif adalah suatu variabel berlanjut, dan penyekatan itu, ke dalam kategori
adalah suatu alat konseptual, banyak seperti membagi rangkaian suatu status
sosial ke dalam bagian atas, pertengahan, dan kelas lebih rendah. . seperti itu
penggolongan adalah suatu penyederhanaan yang membantu pemahaman tingkah laku
manusia, walaupun itu ada beberapa informasi sebagai hasil untuk dapat
menggolongkan individu.
E. Kategori Adopter sebagai suatu Jenis yang Ideal
Jenis ideal adalah
konseptual yang didasarkan pada pengamatan atas kenyataan yang dirancang untuk
membuat perbandingan mungkin. Jenis ideal bukan sekedar suatu rata-rata dari
semua pengamatan tentang suatu kategori adopter. Kita sekarang menyajikan suatu
ikhtisar nilai-nilai dan karakteristik yang dominan dari tiap kategori adopter
akan jadi dapat diikuti oleh penyamarataan yang lebih terperinci.
1.
Pembaharu:
Berani, suka bertualang
Berani, suka bertualang
hampir suatu obsesi dari agen pembaharu. Hal Ini menarik akan adanya gagasan
baru mereka ke luar dari suatu lingkaran jaringan panutan yang lokal dan ke
dalam hubungan sosial yang lebih dari orang yang kosmopolit. Pola komunikasi dan
persahabatan antar suatu persekongkolan pembaharu adalah umum, walaupun begitu
jarak geografis antara pembaharu mungkin pantas untuk dipertimbangkan. Menjadi
innovator mempunyai beberapa prasyarat. Kendali tentang sumber daya keuangan substansi adalah sangat menolong untuk dapat
menyerap kerugian yang mungkin dari suatu inovasi tak menguntungkan. Kemampuan
untuk memahami dan menerapkan berlaku dalam pengetahuan teknis yang
kompleks adalah juga diperlukan. Pembaharu harus mampu mengatasi derajat tinggi
ketidakpastian tentang suatu inovasi ketika mengadopsi.
2.
Awal
Adopter :
Menghormati
Awal orang yang
mengangkat menjadi lebih terintegrasi di dalam bagian dari sistem sosial yang
lokal dibanding dengan innovators. Dimana pembaharu adalah orang yang kosmopolit awal
adopter adalah tempat. Awal adopter dapat menjadi orang yang terhormat oleh
panutannya adalah perwujudan dari penggunaan dari suatu ide yang sukses.
Adopter baru mengetahui bahwa untuk melanjutkan agar mendapat penghargaan para
rekan kerja ini dan untuk memelihara suatu posisi pusat di dalam jaringan
komunikasi sistem, ia atau dia harus membuat keputusan inovasi yang bijaksana.
3.
Awal
Mayoritas: Sengaja
Awal mayoritas mengadopsi
gagasan baru tepat sebelum rata-rata anggota suatu sistem. Awal mayoritas
saling berhubungan sering dijadikan sebagai panutan mereka. Tetapi jarang memegang/menjaga
posisi kepemimpinan pendapat di dalam suatu sistem. Awal mayoritas posisi unik
antara yang sangat awal dan secara relatif terlambat untuk mengadopsi buatan
merekanya yang merupakan suatu mata rantai penting di dalam proses pembauran.
4.
Mayoritas
Akhir-Akhirnya: Skeptis
Mayoritas mengadopsi
gagasan baru hanya atau baru saja setelah rata-rata anggota suatu sistem.
Seperti awal mayoritas menyusun sepertiga anggota suatu sistem. Adopsi
mungkin adalah kedua-duanya suatu tuntutan ekonomi untuk mayoritas, dan hasil
untuk meningkatkan jaringan memaksa dari panutan. Inovasi didekati dengan suatu
skeptis dan menjadi perhatian dan mayoritas tidak mengadopsi sampai hampir
semua sistem mereka.
5. Orang terlambat;
Tradisional
Orang terlambat adalah
yang terakhir di dalam suatu sistem sosial untuk mengadopsi suatu inovasi.
Mereka menguasai hampir tidak ada pendapat kepemimpinan. Orang terlambat adalah
kebanyakan pandangan lokal mereka dari semua kategori adopter: banyak yang
mengisolasikan di dalam jaringan sosial dari sistem mereka.
F. Karakteristik Kategori Adopter
Suatu riset yang sangat
besar tentang literatur telah mengumpulkan beberapa variabel berhubungan dengan
inovatif. Riset difusi ini dalam deretan penyamarataan di bawah ini ada tiga, yaitu :
1.
Karakteristik
Ekonomi-Sosial
a. Orang
yang mengangkat lebih awal tidaklah berbeda dari orang yang mengangkat
kemudiannya di dalam umur atau jaman.
b. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai pendidikan formal yang lebih tinggi
dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
c. Orang
yang mengangkat lebih awal lebih mungkin terpelajar dibanding dengan orang yang
mengangkat kemudiannya.
d. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai status sosial lebih tinggi dibanding orang
yang mengangkat kemudiannya.
e. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai suatu derajat tingkat dari mobilitas
sosial menaik dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
f. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai unit lebih besar (bertanilah, sekolah,
perusahaan dan seterusnya).
2.
Variabel
Kepribadian
Variabel kepribadian berhubungan
dengan inovatif belum menerima perhatian riset penuh, sebagian karena berbagai
kesulitan di (dalam) mengukur dimensi kepribadian di dalam wawancara bidang.
1. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai empati lebih dibanding orang yang
mengangkat kemudiannya.
2. Orang
yang mengangkat lebih awal mungkin adalah lebih sedikit dogmatis dibanding
orang yang mengangkat kemudiannya.
3. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai suatu kemampuan lebih besar untuk
berhubungan dengan abstrak dibanding lakukan kemudian.
4. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai rasionalitas alat parutan dibanding orang
yang mengangkat kemudiannya.
5. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai kecerdasan/inteligen lebih besar dibanding
orang yang mengangkat kemudiannya.
6. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai suatu perilaku yang lebih baik ke arah
perubahan dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
7. Orang
yang mengangkat lebih awal menjadi lebih baik mampu mengatasi dengan tidak
tertentu dan mengambil resiko dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
8. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai suatu sikap yang lebih baik ke arah ilmu
pengetahuan dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
9. Orang
yang mengangkat lebih awal adalah lebih sedikit fatalistis dibanding orang yang
mengangkat kemudiannya.
10. Orang
yang mengangkat lebih awal mempunyai cita-cita lebih tinggi untuk pendidikan
formal, jabatan;pendudukan dan seterusnya) dibanding orang yang mengangkat
kemudiannya.
3.
Perilaku
Komunikasi
Kita
dapat menyatakan penyamarataan yang berikut:
- Orang yang
mengangkat lebih awal mempunyai lebih keikutsertaan sosial dibanding orang
yang mengangkat kemudiannya.
- Orang yang
mengangkat lebih awal jadilah lebih yang sangat saling behubungan
melalui jaringan hubungan antar pribadi dalam sistem sosial
mereka dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
- Orang yang
mengangkat lebih awal jadilah lebih orang yang kosmopolit dibanding orang
yang mengangkat kemudiannya.
- Orang yang
mengangkat lebih awal mempunyai lebih agen perubahan menghubungi dibanding
orang yang mengangkat kemudiannya.
- Orang yang
mengangkat lebih awal mempunyai ekspose lebih besar ke komunikasi antar
pribadi menggali dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
- Orang yang
mengangkat lebih awal mencari informasi tentang inovasi dengan aktip
dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
- Orang yang
mengangkat lebih awal mempunyai pengetahuan yang lebih besar innovatiuons
dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
- Orang yang
mengangkat lebih awal mempunyai derajat tingkat kepemimpinan pendapat yang
lebih tinggi dibanding orang yang mengangkat kemudiannya.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka
dapat disimpulkan bahwa keinovatifan dan kategori adopter itu memiliki suatu
keunikan yaitu Inovasi sebagai sasaran/instrumen untuk melakukan perubahan
sosial dan keinovatifan merupakan tingkat pengadopsian dari kelompok masyarakat
yang sedang mengalami proses perubahan.
Dalam menerima inovasi,
pengadopsi dikategorikan dalam lima kelompok yaitu : innovator, pengguna awal (early
adopters), mayoritas awal (early
majority), mayoritas akhir (late
majority) dan laggard.
Selain itu dalam hal inovasi banyak hambatannya. Untuk itu perlu taktik dan
strategi yang tepat yaitu antara lain: Strategi Fasilitatif, Strategi
Pendidikan, Strategi bujukan dan Strategi Paksaan.
B. SARAN
Setelah mengetahui betapa
pentingnya inovasi itu, maka penulis menyarankan kepada semua pihak, terutama
sekolah-sekolah supaya menerapkan inovasi-inovasi baru dalam proses pendidikan
dengan cara mengomunikasikan suatu inovasi pendidikan dan mengadopsi, kemudian
mencoba menerapkan inovasi tersebut untuk kemajuan sekolah lebih baik lagi.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibrahim.1988. Inovasi
Pendidikan. Jakarta: Depdikbud Dirjendikti
Ihsan, Fuad.1995. Dasar-dasar
Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Rogers,
Everett M.1983. Diffusion of innovations. New York: The Free Press.
Danim, Sudarman.
2003. Agenda Pembaharuan sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/11/08/difusi-inovasi/